Aku punya sahabat yang baik. Sahabatku ini tak pernah
mengeluh. Dia kokoh meski bentuknya sudah tak karuan, seakan tak terlihat
lungsuran. Dia tak pernah berontak ketika panas ataupun hujan. Dia selalu
melindungiku ketika terantuk batu, menyelematkanku dari licinnya jalan, dan
yang jelas mengamanku dari teguran guru. Aku sering mewarnainya dengan sisa
kapur di kelas, jika wajahnya menyemu, seminggu sekali memandikannya, lalu
menyematkan tali agar kembali sumringah. Aku pun gagah bersamanya. Selalu.
Sudah 4 tahun kita bersama. Banyak cerita antara kita,
senang ataupun duka. Namun, seiring dengan kondisinya yang mulai menurun, dia
sekarang jarang kuajak menemani berjalan. Dia sering ku gantungkan di tas. Aku mengajaknya
ketika dibutuhkan saja, selebihnya ku gantung lagi. Aku menyayangi dan selalu
menjaganya. Dia tak sekokoh dulu. Jelujuran ibuku sudah mengitari sekujur
tubuhnya. Tubuhnya sudah berserabut. Telapaknya sudah tak segagah dulu, sudah
sedikit aus, terkikis, akibat sering kuajak berlari ketika aku terlambat pergi,
sering kuajak mengejar ketika lonceng terdengar. Warnanya juga tak cemerlang
lagi. Walaupun aku beri kapur dan kusikat berkali-kali, bukan gagah yang
kudapati, malah semakin menyakitinya.Orang juga banyak mencibirnya dan
membicarakannya bentuknya. Bukan karena dia tidak seperti yang dulu. Bukan
karena dia tak indah lagi. Namun apa boleh buat, ukuran kita tak sama lagi. Aku
sering menahan sakit ketika berjalan bersamanya. Sampai ibuku bilang, ‘Relakan
dia, Nak. Saatnya adikmu yang menjaganya.’
-masih teringat, sepatu kanvas putih yang selalu kupakai
tiap hari Senin-Kamis di SMA-
No comments:
Post a Comment
terima kasih yaa :)