Suatu saat ada seorang perempuan bermain kuis tebak cepat
bersama sekerumunan anak muda. Sebut saja yang perempuan itu A dan salah satu
anak muda itu berinisial B. Peraturannya adalah jika A menyebutkan kata kunci atau
pertanyaan maka B akan menjawab dengan kata yang mendekatinya, boleh satu atau
dua kata maksimal tiga kata yang penting cepat dan tepat. Dan permainan dimulai.
A : Mendidik
B : Guru, Murid, sekolah
A : Kewajiban guru
B : Mendidik, mengajar
A : Sekolah
B : Guru, murid
A : Murid
B : Guru, Sekolah
A : Siapa yang jadi murid
B : Siapaun
A : Siapa yang jadi pendidik
B : --hening—
A : Siapa yang jadi pendidik
B : Engg… GURUUU! (suaranya lantang, karena waktunya hampir
habis)
Pernah coba bermain tebak kata seperti di atas? Permainan yang pernah aku lakukan ini sebenernya hanya keisnengan belaka. But see, banyak yang
bilang pendidik sama dengan guru dan mendidik tidak jauh dari profesi guru juga. Mendidik dan menjadi pendidik ini adalah menjadi seorang guru di depan kelas mengajarkan pelajaran lalu disaksikan oleh
murid-muridnya. Lihat saja dari banyak kata kunci dan pertanyaan seputar mendidik, pendidik, terdidik jawabannya tak jauh dari guru,
sekolah, dan murid. Semuanya berputar di sekitaran itu saja. Namun tahukah sebenarnya
mendidik itu apa? Pendidik itu siapa? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,mendidik didefinisikan sebagai memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntutan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, sedangkan pendidik diartikan sebagai orang yang mendidik.
Oke, saya tidak akan terlalu serius membahas apa itu pendidik dan mendidik. Pertanyaannya, haruskah itu semua dilakukan oleh seorang guru dan harus menjadi guru? Bagaimana dengan profesi yang lain? Sutradara, Manajer, Photographer, koki, apakah tidak bisa menjadi pendidik? Apakah Anda mau jadi guru? Bisakah Anda menjadi guru? Apakah harus menjadi guru dulu? Saya jawab, sebaiknya iya. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena saya sudah mengalami dan didalamnya mengandung resep mengajar, bersabar, mencari dan berkreasi. Mengajarkan dari yang tidak bisa menjadi bisa, mengajarkan agar murid mengerti, mengetahui polah tingkah, celotehnya, gelagat jail dan sikap jenuh terhadap pelajaran. Belum lagi jika pelajaran yang diberikan amat susah untuk dicerna, disitulah proses mendidik dimulai. Percayalah, mendidik orang lain bukan hanya membuat orang lain lebih bisa, namun Anda akan lebih tertular pintar dan secara tidak langsung Anda akan merasa terdidik lebih banyak dari mereka. Itulah mengapa menjadi pendidik yang sangat kerap kali disebut sebagai seorang guru, bukan perkara yang mudah. Maka dari itu jika di negara lain sangat santer isu wajib militer, kalau aku lebih setuju di Indonesia diadakan Wajib Mendidik. Karena apa? Karena menjadi pendidik tidak hanya menjadikan badan sehat, tulang kuat, namun juga melatih mental dan kesabaran, kemampuan, kemauan dan bagaimana berinteraksi dengan anak-anak yang lebih banyak tidak tahunya namun ingin tahu segala hal.
Oke, saya tidak akan terlalu serius membahas apa itu pendidik dan mendidik. Pertanyaannya, haruskah itu semua dilakukan oleh seorang guru dan harus menjadi guru? Bagaimana dengan profesi yang lain? Sutradara, Manajer, Photographer, koki, apakah tidak bisa menjadi pendidik? Apakah Anda mau jadi guru? Bisakah Anda menjadi guru? Apakah harus menjadi guru dulu? Saya jawab, sebaiknya iya. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena saya sudah mengalami dan didalamnya mengandung resep mengajar, bersabar, mencari dan berkreasi. Mengajarkan dari yang tidak bisa menjadi bisa, mengajarkan agar murid mengerti, mengetahui polah tingkah, celotehnya, gelagat jail dan sikap jenuh terhadap pelajaran. Belum lagi jika pelajaran yang diberikan amat susah untuk dicerna, disitulah proses mendidik dimulai. Percayalah, mendidik orang lain bukan hanya membuat orang lain lebih bisa, namun Anda akan lebih tertular pintar dan secara tidak langsung Anda akan merasa terdidik lebih banyak dari mereka. Itulah mengapa menjadi pendidik yang sangat kerap kali disebut sebagai seorang guru, bukan perkara yang mudah. Maka dari itu jika di negara lain sangat santer isu wajib militer, kalau aku lebih setuju di Indonesia diadakan Wajib Mendidik. Karena apa? Karena menjadi pendidik tidak hanya menjadikan badan sehat, tulang kuat, namun juga melatih mental dan kesabaran, kemampuan, kemauan dan bagaimana berinteraksi dengan anak-anak yang lebih banyak tidak tahunya namun ingin tahu segala hal.
Teman, saya sangat
menyarankan wacana tahun akan datang warga Indonesia, usia 17 sampai 25 tahun,
laki-laki maupun perempuan wajib mengikuti Wajib Mendidik . Kalau wajib militer
ada yang dua tahun lebih, wajib mendidik cukup selama minimal setahun saja,
entah itu dimana tempatnya, kalau bisa tempat yang benar-benar kekurangan
tenaga guru. Kenapa? Karena kalian akan belajar menikmati bagaimana proses
menjadi ‘orang’ sampai kalian menemukan profesi sampai saat ini.
Pertanyaannya, maukah kamu menjadi seorang pendidik jika
memang ada Wajib Mendidik? Dulu, kalau saya ditanya seperti demikian, saya akan
menjawab TIDAK! Kenapa? Mungkin saya tidak bisa menjawab alasan jelasnya kenapa
saya tidak mau jadi guru, mungkin lebih pada saya tidak bisa bersabar menghadapi
murid yang tidak bisa ataupun yang banyak tanya. Opps.. Lantas kenapa Furi
menyarankan untuk ada wajib mendidik? Karena saya dulu belum mengalaminya.
Kalau sekarang ditanya, maukah kamu menjadi seorang pendidik
jika memang ada Wajib Mendidik? MAU! SAYA MAU!!! Cause finally I’m prove on it.
Saya seorang engineer atau seorang
teknisi. Apakah kamu pernah menjadi seorang guru? Yes, Im a year there! How could?
Begini ceritanya, pertengahan tahun lalu saya memutuskan untuk menjadi seorang
pengajar di salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Saya meninggalkan
pekerjaan saya untuk selama setahun di tempatkan menjadi seorang guru. Bukan
guru untuk teknisi, bukan guru untuk mengurusi persignalan. Tapi saya datang
sebagai seorang guru yang katanya akan mendidik murid-murid SD di daerah itu. Menjadi
seorang pendidik yang tidak memiliki background pendidikan? Bisakah? Saya bisa.
Bagaimana rasanya? Menyenangkan.
Menuliskan cita-citanya |
“Siapa yang tahu ibukota Indonesia?” tanyaku di awal penempatanku disana. Kelas hening. Tidak ada jawaban, maka pertanyaan diubah.
“Siapa yang tahu kalian tinggal di negara mana??” salah satu
muridku menjawab,
“SANGIIIIIIIRRRRRR”
Bahkan mereka tak tahu apa bedanya pulau dan negara. Betapa
sempitnya Indonesia yang luas ini.
“Hewan apa saja yang makannya hewan dan tumbuhan?”
“Kuciiiiiingg, ayaaammm, babiiiiii, anjingggg”
“Hah? Ayam itu makan biji, kucing itu makannya ikan, Nak”
“Nyanda Encik, kita pe
ayam depe makanan juga ikan. Kita pe meok makan kita pe sayur lai”(1)
Bahkan aku tidak bisa menyalahkan jawaban mereka untuk
disamakan seperti text book di buku paket. Di pulau itu bukan keajaiban jika anjing
makan sayur dan ikan. Bukan mukjizat Tuhan jika ayam juga makan daging. Dan kita
tidak bisa semena-mena menyalahkan jawaban mereka, karena di lingkungannya
mereka melihatnya seperti itu. Pembelajaran pertama menjadi seorang pendidik. Mendidik
bukan semata-mata guru yang harus benar, saya belajar banyak dari mereka. Benar
atau salah bukan yang dipersoalkan, namun keinginan untuk mau belajar itu yang
diutamakan.
Pelajaran kedua adalah kesabaran dan tak kenal menyerah. Aku
mempunyai seorang murid, dia bisa dibilang mempuanyai kelebihan. Dia tidak bisa
menghitung dalam waktu cepat dan dalam jumlah yang banyak.
“Ayo Felix, 7 + 8, tujuh di hati, delapan di tangan!” kataku
sambil mempergakan 7 di hati dan 8 di tangan. Dia kesulitan untuk membuat
membilang delapan dengan tangannya, maka aku bimbing. Bisa!
“Sekarang hitung, setelah 7 berapa?”
“De..delapan, sembilan, sepuluh….” Dia bisa membilangnya dan
tepat jawabnya 15. Oke lega, sekarang coba lagi kesempatan kedua.
“Sekarang 9 + 5 berapa?” Dia bingung. Tangannya berkeringat.
“Tadi bagaimana? Sembilan di hati, 5 di tangan.” Sekali lagi
dia kesulitan membilang lagi. Dan selama hampir 10 menit saya mengulangnya, dia
masih belum bisa juga. Terpaksalah saya harus memikirikan metode lain supaya
dia mengerti. Mengajari seorang murid tidak bisa dipaksa, jika memang tidak
bisa jangan menyalahkannya, namun kitanya yang harus kreatif mencari cara lain
supaya dia mengerti. Dan Felix, walaupun tetap lambat menghitung, kemampuannya
sudah bisa sampai hitung simpan. Alhamdulilah. Intinya sabar dan tidak
gampang menyerah.
Pelajaran ketiga. Tuhan Maha Segalanya. Agak wise yaa yang ini. Mengapa aku bilang
demikian? Dengan menjadi pendidik, kamu akan tahu bahwa Tuhan menganugerahi
manusia itu dengan segala keunikan, kelebihan dan kekurangannya. Sebut saja
muridku Cristi. Dia kerap dipanggil Iti di kelas. Dia hanya tinggal dengan
ibunya mempunyai seorang adik dan kakak. Dia sangat lemah dalam berhitung,
tapi dia selalu punya cara untuk menyelesaikan tugasnya. Namun siapa sangka Iti
adalah muridku yang bisa membuat cerita singkat dengan bahasa yang bagus hanya
karena dia sangat suka membaca majalah. Aku sangat terkesan dengan kemampuannya
itu. Beda Iti, beda lagi dengan Jernal. Semester pertama dia sangat kesulitan
membaca, namun kemampuan menghitungnya sangat luar biasa. Dia bisa menemukan
metodenya sendiri untuk menghitung tambah, perkalian dan pembagian dengan
cepat. Jika saatnya pelajaran bahasa Indonesia atau apapun itu yang ada
hubungannya dengan membaca, dia akan menjawabnya dengan menggambar jika
kemampuan menulisnya masih kurang bagus. Aku menghargai itu sebagai suatu
pemberian syukur yang tidak aku dapat sebelumnya.
Tawa dan senyum mereka |
Aku tak akan menemukan mutiara terpendam seperti ini,
jikalau aku terus menerus duduk di depan komputerku sebagai teknisi. Disini aku
mempelajari bahwasannya benar Tuhan menciptakan makhluk dengan segala
kesempurnaannya dan menajadi pendidik cukup meyakinkanku, TIDAK ADA ANAK yang
TERLAHIR BODOH.
Jika bicara menjadi pendidik, setahunku tidak akan cukup
dituliskan menjadi sebuah karangan selembar atau dua lembar saja. Tiap pasang
mata, tiap detil dan tingkah kocaknya selalu teringat jelas di otak saya.
Dan yang paling jelas, menjadi pendidik menjadikanku sebagai
pribadi yang lebih bersyukur. Bersyukur dilahirkan lalu diberi kesempatan
mendapatkan pendidikan sampai aku menjadi orang seperti sekarang. Menjadi pendidik
memberikanku gambaran arti kasih sayang, ketabahan dan kesabaran orang-orang yang
sudah mendidikku dulu sampai sekarang. Menjadi pendidik pula yang
mengingatkanku bahwa tugas orang terdidik adalah mendidik. Kewajiban kita semua
untuk mau mendidik, berbagi dan mengajar bagaimana saat-saat dulu kita menjadi
murid dibanding menjadi seorang pendidik. You
will find the difference and that’s so fun anyway. Dan percayalah ketika
saya melihat murid saya bisa baca dengan lancar, bisa menghitung dan menulis
tepat, that’s the awesome
achievement ever! No doubt!
Belajar bisa dimanapun |
Wajib Mendidik Indonesia. Saya yakin jika memang program ini
benar-benar ada di Indonesia, kesempatan bagi paramuda untuk menilik bagaimana
luasnya Indonesia ini dan bagaimana panjangnya perjuangan bangsa ini untuk
menuntaskan tantangan yang dinamakan PENDIDIKAN. Karena yakinlah, Indonesia tak
akan menjadi lebih baik tanpa hadirinya sosok muda yang berwacana yang hadir
menjadi seorang PENDIDIK. Yakinlah, bahwa pernah menjadi pendidik sudah
membantu Negara ini, minimal menuntaskan kewajiban Negara ini untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
And the last one,
readers..
Jika nanti ada pertanyaan tebakan lagi yang jika A bertanya,
“Siapa yang jadi Pendidik” yakinkan jawabannya , “SAYA!”
Cause everyone of you
was born to be educator. Karena tiap kamu sejatinya dilahirkan sebagai
pendidik. Try it!
Love – Furi :)
(1)Bahasa Manado Pasar yang artinya, ‘Tidak
Encik, ayam saya makanannya juga ikan. Kucing saya juga makan sayur.’ Encik—sebutan
guru muda yang belum menikah. Meok- sebutan untuk kucing.
No comments:
Post a Comment
terima kasih yaa :)