Aku masih random atau acak dengan istilah “setahun mengajar
seumur hidup menginspirasi” karena aku belum merasakan bagaimana menjadi bagian
dari ‘seumur hidup’ itu sendiri. Masih terhitung 3 bulan pasca penugasan dan aku
masih merindukan celoteh murid-muridku. Hanya bisa membicarakan
mereka,mengulang-ngulang kepolosannya dan segala tingkah laku mereka yang membuat
kuadrat rindu ini bertambah lagi. Aku tidak tahu juga apakah mereka merindukan aku
juga, namun ketika aku kembali membuka atau tak sengaja melihat rekaman, foto,
cerita mereka, buku harian juga, aku hanya bisa berharap jika memang ada
kesempatan meminta, aku akan meminta untuk dipertemukan kembali bertemu dengan
jagoan-jagoan kecilku.
Sebulan yang lalu, ketika penggantiku mengirimkan amplop
yang isinya segebok surat-surat kecil untuk menanyakan kabarku. Aku sangat
trenyuh dan haru sekali dengan kepolosan mereka menulisnya.
‘Encik, kapan pulang ke Sangir?’
‘Encik, kapan balik ulang? Torang so rindu’
Ah entah aku menjawab apa waktu itu. Aku juga mengutarakan
perasaanku yang mungkin masih terbawa hawa penempatan. Jelas saja, aku baru
pulang satu bulan dari penempatan rasa rindu masih kental bersarang di hatiku. Di
bulan bulan itu pula masih banyak wali murid yang menelepon, murid SD sampai
SMP yang masih sering cerita tentang kegiatannya di pulau. Dan jujur, aku masih
rindu. Istilah ‘pulang’ itu juga yang benar-benar meyakinkanku bahwa aku sekarang
punya tanah tinggal di ujung utara negeri ini.
Kemarin sore aku masih membicarakan mereka, kemarin sore aku
masih tertawa mengingat kepolosan mereka. Juga masih kemarin sore pula, aku
merindukan kebersamaanku bersama mereka. Hingga pagi ini ditengah Senin yang menagih
semangatku untuk kembali pulih, hapeku dibunyikan oleh nomer yang tidak
dikenal, namun ketika aku mendengar suara dan logatnya, aku hafal betul siapa
dia. Delsye. Siswiku kelas 2 yang naik ke kelas 3.
“Encik, kereyapa habare?”
Dari situ pula, aku
kembali bercerita menggunakan logatnya. Persis. Kejadian ini persis aku
lakukan setahun lalu untuk memancing muridku bercerita setiap pagi tentang
kegiatan semalam mereka untuk diceritakan kembali di muka kelas. Itu satu tahun
yang lalu. Namun sekarang, aku hanya mendengarnya lewat suara saja. Delsye
meneloponku untuk bercerita ada siswa baru di pulau dari gereja pantekosta. Dan
dia senang ada teman baru di sekolahnya. Dia juga cerita bahwa saat telepon itu
dia ada di tempat sinyal untuk telpon aku dan menceritakan tentang kegiatan sekolahnya
hari ini yaitu menggambar hewan di kelas. Ia bercerita bahwa tidak ada guru
yang mengajar di kelasnya, jadi mereka sendiri belajar dibantu Encik Naim (penggantiku).
Dia juga bercerita tentang hebohnya kampung karena ada kakak kelasnya yang akan
berangkat ke Jakarta. Persis, itu kebiasannya setahun yang lalu.
“Encik, kita so batulis 7 surat pa encik. Nanti encik ulang
balas ne”
Dia bercerita bahwa dia menulis surat kepadaku. Dia juga
bilang kalau matematikanya di kelas sudah bagus. Dia menceritakan kabar
teman-temannya yang dulu aku ajar. Lengkap. Dan aku hanya menimpali, mendengar,
menimpali, tertawa, menasehati.
“Encik, torang semua nyanda bauni (menonton TV) lagi, torang
masih suka gosok gigi dan bersih telinga”
Ah, memori itu lagi. Aku rindu. Aku menimpali seadanya lagi
dengan logat yang kusamakan dan bahasa yang aku ingat-ingat artinya. Namun,
setelahnya aku tidak berani melanjutkan, hanya diam. Sampai akhirnya dia
bilang,
“Encik, setiap malam kita selalu berdoa, supaya encik ada
balik ke sangir, kembali bermain dan berenang dan belajar di kelas bocor. Torang
so rindu sekali”
Di pelupuk mataku penuh air mata. Dengan secara sepihak, aku
tutup telpon bukan karena aku tidak tega, tapi aku benar-benar rindu.
“Amin. Terima kasih ne Delsye, belajar bae bae ne. Nanti
encik ada telpon ulang. Selamat siang.”
Aku diam sambil menyeka. Ya Allah rindunya. Semoga kelak dia
bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Maka dari itu, ketika ‘seumur
hidup menginspirasi’ kembali terbayang-bayang di layar laptopku, aku masih
merasakan 3 bulan ini mereka masih menginspirasiku. Dan aku memang masih butuh
membuktikan setahun kemudian, dua tahun setelahnya atau sampai kapanpun itu apakah
kenangan setahun mengajar ini bisa kabur begitu saja dari ingatanku. Sepertinya…..
tidak akan.
Salam Senin Semangat ya teman.
No comments:
Post a Comment
terima kasih yaa :)