Enam bulan yang lalu ketika menapakkan kaki pertama kali di tempat ini, banyak impian dan harapan yang harus saya lakukan hingga setahun penempatan saya disini. Namun, setalah 6 bulan berjalan yang begitu cepat dilalui dan saya menanyakan lagi kemanakah perginya kata “banyak” di depan kata “impian” dan “harapan” itu. Kemanakah “impian” dan “harapan” yang saya sandingkan dengan daerah pinggiran kota dan pedalaman ini pergi? Bagaimana keberlanjutan dari impian dan harapan itu sendiri? Masih berlanjutkah, berhenti sejenak atau sudah berhenti? Tetapi, dalam 6 bulan perjalanan menapaki tempat ini saya banyak belajar, ada sesuatu yang harus diubah dari cara berpikir saya yaitu konsep “banyak” menjadi pemikiran “kecil namun berarti”.
Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan primer bagi sebagian kalangan. Namun jika mendengar kata pinggiran atau pedalaman, apa yang terpikir di benak Anda pertama kali? Jaraknya jauh? Daerah pedesaan? Tidak ada listrik? Transportasi sulit dan medannya berat? Benar, semuanya hampir benar! Kurang satu lagi, susah signal atau bahkan blank spot. Karena saat ini masyarakat di pedalaman atau pinggiran juga mempunyai kebutuhan yang sama akan komunikasi, walaupun tidak sampai pada titik primer.
Sangat di sayangkan sekali ketika saya sampai di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang notabene adalah ibukota kabupaten, jaringan XL Axiata masih tidak terjangkau alias belum ada infrastruktur yang terbangun sama sekali disini. Di ibukotanya saja tidak ada, lalu bagaiamana dengan kebutuhan komunikasi di pulau kecil sekitarnya yang kelak jadi tempat saya tinggal? Nihil pastinya. Padahal Sangihe ini yang merupakan salah satu daerah perbatasan membutuhkan asupan informasi dan media untuk mengenalkan daerahnya. Banyak potensi yang harus diperkenalkan namun media lokal kadang hanya menjangkau sampai lingkup lokal saja, belum sampai terdengar di Indonesia. Bahkan banyak orang yang masih belum mengerti dimanakah Sangihe itu. Banyak pula informasi di luar sana yang sebaiknya dikonsumsi supaya mereka tahu bagaimana Indonesia atau dunia ini sedang berkembang. Dari sini saya menemukan benang merah dari berbagai tantangan ini yaitu JARINGAN KOMUNIKASI. Karena dengan konsepnya yang berjalan dua arah, komunikasi akan memudahkan terbentuknya jaringan timbal balik yang sudah dijelaskan tadi.
Banyak pikiran idealis saya bawa dari ‘kota’ yang harus dihadapkan pada banyak keadaan realistis di daerah ini. Salah satunya adalah sektor pendidikan dan perekonomian masyarakat. Begini pemaparannya.
Gambar 1. Konsep idealis pinggiran kota dengan dua sektor pendampingnya
Tujuan utamanya adalah ingin memajukan daerah tersebut dengan mem-breakdown kebutuhan ideal dari dari pemikiran selama ini. Namun, setelah melakukan assessment banyak tantangan dan kendala muncul dari konsep seperti diatas. Contohnya, di sektor pendidikan, bagaimana bisa menjalankan komputer internet atau istilahnya internet masuk desa, jika di daerah tersebut pasokan listrik tidak ada dan kalaupun ada hanya mencukupi kebutuhan 1 komputer dan frekuensi menyalanya sebentar. Jadi informasi yang tersampaikan terbatas saja. Timbul pertanyaan lain, lalu siapakah yang mengoperasikannya? Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk perawatannya, dan bagaimana nantinya dengan adanya komputer ini akan mempengaruhi pola berpikir masyarakat disini tentang pendidikan? Bagaimana menjelaskan konsep pendidikan dari yang keluar dari komputer ini?
Harapan kedua adalah ingin sekali murid-murid disini tetap mendapatkan pelajaran ketika gurunya tidak ada atau ingin bertukar informasi dengan temannya yang ada di kota sana dengan cara e-distance learning yang teknologinya marak akhir-akhir ini. Realistiskah? Mampukah mereka? Jawabnya adalah realistis, mampu, bisa terlaksana, tapi masih nanti tunggu masyarakatnya siap dan mau. Begitulah keadaannya.
Bagaimana dengan sektor perekonomian? Asal cukup, mampu hidup dan kebutuhan mereka terpenuhi dalam satu hari mereka rasa tidak perlu bertindak lebih. Memikirkan bagaimana kehidupan mereka seminggu kedepan atau kelangsungan hidup mereka, biar itu terjadi nanti. Mereka lebih senang menangkap ikan untuk kebutuhan harian mereka, lebih suka menunggu panen pala, cengkih yang bisa dipanen tiap 3 bulan sekali atau lebih. Kemudian pemikiran untuk memasarkan hasil dagangannya masih sampai di pasar tradisional setempat saja. Ketika ada pertanyaan, kenapa tidak di pasarkan minimal ke pasar lokal? Lagi-lagi kendala transportasi dan komunikasi menjadi salah satu alasan terbanyak. Tidak berhenti sampai disitu, datanglah tawaran untuk mengajak belajar bagaimana membangun koperasi sehingga tidak perlu ke tengkulak lagi untuk memasarkan hasil panen, tawaran untuk mau belajar bagaimana meningkatkan hasil panen mereka. Dan sekali lagi, tanggapan tidak begitu antusias karena memang tidak bisa dipungkiri, kualitas sumber daya manusia jauh yang dari kita kira sebelumnya dan fasilitas nyatanya belum terbukti ada. Itulah mengapa semua ‘embrio’ sektor pendukung tak jauh-jauh dari PENDIDIKAN. Keduanya akan bisa berjalan beriringan jika media penghubung, yaitu layanan telekomunikasi tersedia dengan baik. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemikiran banyak dan idealis ini benar-benar dibutuhkan masyarakat di pedalaman dan pinggiran kota? Apakah mereka benar-benar membutuhkan, ketika salah satu operator telekomunikasi bisa memberikan segala fasilitas diatas? Belum tentu. Lantas solusinya?
XL Axiata sebagai penyedia layanan komunikasi sudah tepat mempunyai gagasan untuk menawarkan konsep “memajukan pendidikan dan perekonomian” di daerah pinggiran kota dan pedalaman. Dengan pandangan paparan diatas, gagasan untuk memajukan, kembali harus di –breakdown lagi dan di- down to earth apakah konsep diatas sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya jika memang XL akan bertindak memberikan perannya. Dengan membina , saya yakin XL akan semakin mantap menunjukkan keseriusannya membantu memajukan pendidikan dan perekonomian di tanah air. Melihat kondisinya, dirasa tepat jika XL menjadi penyambung antara keberadaan daerah pinggiran dan pedalaman dengan kebutuhan di sektor pendidikan dan ekonomi.
Gambar 2. XL Axita menjadi penyambung kedua sektor
Saya yakin XL tidak berpretasi untuk membantu menyelesaikan seluruh permasalah komunikasi dan sektor lain di tanah air, namun dengan memberikan solusi, diharapkan ada gambaran tentang kondisi di lapangan. Dengan meyakini bahwasannya pendidikan merupakan embrio dari dan untuk sektor yang lain, maka sektor pendidikan yang mulai dibina pertama kali.
Pendidikan
Dimanakah peran XL Axiata membantu memajukan pendidikan? Pemerintah dengan baik menyediakan SD sampai SMP di daerah tersebut, namun bagaimana kualitasnya? Kualitas unggulan atau hanya kualitas ijazah lulus? Harus di breakdown lagi, apa sebenarnya kebutuhan mereka. Kebanyakan dari mereka belum mengerti konsep sekolah itu sendiri, karena di pikiran mereka tanpa sekolah pun mereka bisa tetap hidup. Jangankan untuk keinginan berkompetisi dan bersaing, keinginan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya sebagian saja yang mengerti. Disinilah letak XL, tidak harus melulu berupa pulsa untuk dibagi-bagikan dengan sekali beri langsung habis. Melalui programnya XL bisa mengadakan atau mensponsori kegiatan pelatihan untuk guru di daerah. Bagaiamana meningkatkan kualitas dan kinerjanya. Memberikan pengarahan pendidikan berkarakter untuk murid, pembelajaran kreatif, cara menghimpun kesatuan guru di daerahnya untuk menginisiasi suatu kegiatan.
Selain itu, memberikan pelatihan untuk guru bagaimana menggunakan media komunikasi yang di sponsori oleh XL. Guru bisa mengoperasikan komputer, menggunakan aplikasi sebelum dalam jangka panjangnya berlanjut pada teknologi canggih seperti Skype atau e-distance learning yang membutuhkan pemahaman lebih. Itulah fungsi dari keberlanjutan itu sendiri, bagaimana mengembangkan program yang sudah dirintis untuk berlanjut ke arah yang lebih baik.
Lantas bagaimana dengan pendidikan untuk murid? Guna meningkatkan rasa untuk bersaing dan berkompetensi, maka XL bisa mengadakan lomba dan hadir langsung di daerah itu. Sederhana saja, lomba baca tulis hitung misalnya, atau cerdas cermat. Namun tujuannya adalah mengapresiasi rasa menjadi pemenang atau yang kalah. Tiap satu semester sekali ada lomba, itu sudah cukup. Lalu, jika ingin memberikan upaya seperti fasilitas semacam perpustakaan untuk pengadaan buku atau alat peraga yang dapat menunjang proses belajar mengajar, lagi-lagi peran guru harus dilibatkan untuk bisa memberikan pengarahan kepada muridnya bagaimana menggunakan dan merawatnya.
Memirkan suatu hal bahwasanya XL juga bisa memberikan bantuan berupa beasiswa kepada putra daerah untuk mau mengenyam pendidikan tinggi di luar daerahnya. Dengan begitu orang tua akan membutuhkan komunikasi menghubungi putranya, lantas setelah kembali di harapkan putra daerah ini menjadi contoh akan pandangan konsep pendidikan yang diberikannya dulu. Karena banyak dari mereka hasil nyata pendidikan dapat dilihat dari sosok seperti guru atau dokter.
Maka dengan membina masyarakat seperti ini, proses keberlanjutan tidak akan begitu sulit, juga langsung terlihat dampaknya pada kebutuhan masyarakatnya.
Perekonomian
Kualitas pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor kenapa sulitnya masyarakat menerima teknologi internet yang bisa saja setiap saat memasarkan hasil bumi mereka. Di tempat saya tinggal sekarang, sektor perikanan, perkebunana dan pariwisata merupakan fokus utama yang perlu di kembangkan. Namun, mengapa seakan keberadaanya tidak pernah terdengar. Ya, komunikasi masih dari mulut-mulut saja. Belum ada bukti konkret seperti foto, hasil penjualan yang bisa dibeli langsung, padahal dengan adanya internet saja mereka bisa upload foto bisa memasarkan hasil penjualan mereka ke website penjualan.
Pemerintah setempat tidak perlu memonitoring langsung ke tempat, hanya bisa mengecek saja via internet. Itu idealnya. Namun kondisi di lapangan? Internet itu apa, mereka tidak tahu. Dan memang kegiatan nyata yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pengarahan, pelatihan berkelanjutan dan memberikan semacam “PR” terhadap hasil pencapaiannya selama pelatihan tersebut dengan XL langsung sebagai mediatornya. Itu akan lebih adil.
Lalu, cara untuk membantu sektor perekonomian lain, mungkin XL bisa menawarkan semacam koperasi untuk mereka bisa mengelola hasil panennnya, tanpa terjerat tangan tengkulak. Juga memberikan penyuluhan dan pengarahan bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen mereka, supaya mempunyai nilai jual yang bersaing. Dengan keberlanjutannya, kembali di berikan semacam “PR” tiap bulan bagaimana hasil perkembangannya. Syukur jika daerah binaannya bisa menghasilkan kualitas ekspor.
Jadi dengan begitu, kelak masyarakat bisa memasarkan hasil panennya sendiri lewat website, bertransaksi mudah dan mungkin bisa berkomunikasi dengan pihak lain yang ingin menjalin kerjasama.
Dalam membina dan membantu tidak bisa lepas memberi pada awal saja. Namun poin yang lebih penting adalah bagaimana mempertahankan dan membuat keberlanjutannya sebagai siklus yang terus berkembang. Dan sesuai dengan judul dari topik ini adalah memberi dan membina dilakukan dari sesuatu yang kecil dulu dan setelahnya biarkan itu berkembang dan membesar sehingga daerah pedalaman dan pinggiran itu dari awal yang hanya bisa berdiri dengan pegangan akhirnya siap dilepaskan dengan segala kemampuannya. Dan pada akhirnya XL sebagai salah satu penyedia layanan telekomunikasi di tanah air tidak hanya memiliki fokus untuk kepentingan komersialnya saja, namun keberadaannya akan menjadikan XL benar-benar ada.
Nantinya, dengan XL tidak ada istilah pinggiran atau pedalaman lagi, karena semuanya sudah bisa dikomunikasikan dengan baik yang ada adalah untuk Indonesia yang lebih terbina.
Oleh :
Furiyani Nur Amalia
Pengajar Muda Angkatan kedua - Gerakan Indonesia Mengajar
Penempatan Kabupaten Kepulauan Sangihe – Pulau Beengdarat.
furiyani@gmail.com
http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/furiyani-amalia/dari-kecil-bisa-menjadi-besar-dan-berarti
sangihe,.......pirua,....kacian.Nanti,....klau jaringan XL nda masuk-masuk, boleh pake layanan "songko" antar pulau, hehehe,... Fur,.....katanya udah mau nikah ??????
ReplyDelete