Friday, May 10, 2013

#Bangga Keluarga: Ibu ini Apa, Bapak itu Apa, Kalau ini Bagaimana?

Hai Takita, apa kabarmu disana? Kak Furi sudah rindu ingin bercerita dengan Takita. Apalagi setelah membaca suratmu yang bercerita tentang bagaimana Takita diajari Ayah dan Ibu membaca dan menulis, rasanya Kak Furi ingin segera bercerita juga.

Ketika kemarin bertemu ibu, Kak Furi bertanya, “Ibu dulu waktu masih kecil apakah cita-citaku? Dulu aku bisa membaca umur berapa? Bisa menulis umur berapa?” Mendengar jawaban ibu, aku semakin antusias untuk bercerita ke Takita.

Ibu dan bapak Kak Furi adalah seorang guru. Ibu Kak Furi adalah guru SD yang mengajar di kelas 1, dan Bapak Kak Furi guru SMP. Namun, bukan berarti karena ibu dan bapakku adalah seorang guru aku akan dengan mudah bisa membaca dan menulis. Berbeda dengan kakakku yang sejak TK Nol kecil sudah bisa membaca, aku yang kata ibuku sampai kelas 1 pun belum lancar membaca, bahkan untuk mengeja masih susah. Walaupun demikian kata ibu, kak Furi senang sekali bercerita dan bertanya. Kata ibu, kak Furi senang sekali ikut ibu ke sekolah untuk melihat bagaimana murid-murid ibu belajar membaca. Waktu itu umurku masih 6  tahun masih tingkat TK nol besar. Setiap pulang kerja, ibu dengan sabar selalu mengajariku membaca dan menulis. Aku paling senang saat sore hari, banyak murid ibuku yang datang ke rumah untuk belajar membaca dan menulis, aku juga selalu melihat bagaimana mereka menuliskan huruf di kertas kotak-kotak, bagaimana murid ibuku mengeja tulisannya dan bagaimana murid ibuku menghapus dan menggunakan penggaris jika disuruh ibuku. Aku semakin tak sabar masuk Sekolah Dasar. Aku selalu bertanya kepada Ibu, “Ibu, itu murid ibu siapa namanya? Apakah sudah bisa membaca?” atau seperti ini, “Ibu, murid Ibu rumahnya dimana? Apakah sudah bisa menulis?” Ibuku tersenyum dan menjawab apa adanya sambil bertanya, “Kalau anak Ibu sudah sampai mana belajar baca dan menulisnya?” Nah, kalau sudah ditanya seperti itu aku memilih kabur atau segera bermain dengan teman-temanku. 

Suatu hari ibuku pernah bilang kalau cita-citaku setiap hari bisa berubah ubah. Bergantung hari itu apa yang aku lihat di TK. Ketika Hari Jumat saatnya hari gizi, selalu ada dokter yang memeriksa kesehatan, maka hari itu aku langsung bercerita kepada ibu mau menjadi dokter. 

“Adek (panggilan ibu kepada Kak Furi), kalau dokter sudah periksa berat badan sama tinggi badan setelah itu ngapain dokternya?”
“Biasanya dicatat Bu, lalu di kasihkan ke Ibu guru”
“Terus Bu guru mengerti tidak tulisan Bu dokternya?”
“Ngerti dong Ibu”
“Lalu, caranya bisa catat dan bisa dibaca tulisannya bagaimana ya Dek? ”
“Bisa.. bisa.. ehmm bisa membaca dan menulis”
“Berarti kalau mau bisa jadi dokter, harus bisa apa dulu?”

Karena sudah merasa tahu jawabannya, aku segera pergi meninggalkan ibu. Bukannya malah belajar atau minta diajari membaca. 

Taman Kanak-Kanakku dulu berada di tengah kota namanya TK Tunas Harapan, dekat dengan kantor polisi dan alun-alun kota. Suatu hari ada kebakaran di samping sekolah, dengan senangnya Kak Furi tiba-tiba ingin pindah cita-cita menjadi pemadam kebakaran. Sepulang sekolah, saat makan siang Kak Furi selalu bercerita kepada Kakak, Ibu dan Bapak

“Ibu, aku mau jadi pemadam kebakaran”
“Wah bagus! Kenapa dari dokter pindah menjadi pemadam kebakaran?”
“Bisa siram-siram air dan bawa mobil besar isi air, terus tolong orang yang rumahnya kabakar Bu”
“Oh… bagus kalau begitu”

Tidak ada pengelakan dari ibuku. Tidak ada syarat bisa menulis dan membaca. Namun entah anganku pergi kemana saat itu. Mana mungkin pemadam kebakaran tidak bisa membaca dan menulis? Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada bapak, 

“Bapak, jadi pemadam kebakaran memang bisa kalau nggak bisa baca sama tulis?”
“Kalau tidak bisa baca, lalu kalau dikasih peta lokasi kebakaran bisa nyasar dong nanti Dek?”

Gagal. Semua cita-citaku gagal. Tidak ada cita-cita yang tercapai jika tidak bisa membaca dan menulis.
Pada saat mau ujian masuk SD, disitulah masa dimana Kak Furi rajin sekali belajar membaca dan menulis. Berhasil? Pasti dong. Masih ingat sekali bagaimana ibu melatihku membaca. Setiap pergi baik itu ke pasar atau ke luar kota ibuku selalu membuat permainan kata-kata. 

“Adek, coba cari kata SUMBER REZEKI”
Dengan cekatan aku langsung mencari sekelilingku, mengeja tiap kata dan jika tepat aku akan berteriak
“ITUUUU IBU, ada di toko sebelah kiri”
Lalu ibuku menantangku lagi, “Masih satu yang benar, ayo sekarang tebak lagi sampai sepuluh ya” 

Kadang kalau Kak Furi bingung mengeja, Kak Furi akan bertanya, “Ini bacanya apa ya Bu? Itu bacanya apa ya Bapak? Nah, kalau huruf n sama g gabung begini bagaimana bacanya ya Kak?” Tentu aku belajar sedikit semi sedikit sambil ibuku mencari contohnya di buku yang kubaca.

Belajar menulis
Begitulah ibuku melatihku membaca tiap hari. Ketika aku sudah masuk sekolah, ibuku sering bilang, “Adek, pesan untuk makan siang ibu tempel di kulkas ya.” Mau tidak mau Kak Furi membacanya. Dengan senangnya aku mengeja dan memahami perintah Ibu. Lalu sepulangnya bekerja ibu akan bertanya, "Ibu tadi tulis pesan apa?" Kalau benar ibuku akan memberikan tanda jempol dan mengusap halus kepalaku. Senang!

Dan hal yang paling menyenangkan adalah ketika Ibuku selalu membelikan buku bergambar dan juga majalah yang bisa aku baca. Ketika aku sudah bisa membaca satu dua paragraf, ibuku selalu memberikan majalah anak-anak untuk dibaca pelan-pelan. Ibuku akan menunjuk paragraf mana yang harus dibaca dan kemudian akan menanyakan apa yang aku baca. Misalnya begini,
Pada suatu hari di Negeri Dongeng, Putri Mentari menemui Nirmala dan Oki untuk memberikan tugas mengirim bahan makanan ke rumah kurcaci. Para kurcaci sedang kekurangan bahan makanan akibat terserang wabah  penyakit Kulai yang menyerang padi di Taman Awan.
Setelah disuruh untuk mengulang bacaan itu, Ibu Kak Furi akan bertanya, "Jadi siapa yang menyuruh Nirmala dan Oki untuk mengirim bahan makanan ke rumah kurcaci?" Kalau Kak Furi bisa menjawab ibuku akan memberikanku tos. Tentu saja ini akan membuatku senang membaca cerita ini setiap edisinya. Kalau Bapak sedang membaca koran di teras, Kak Furi akan mencuri perhatian Bapak dengan ikut membaca majalah sampai bapakku bertanya, "Adek lagi baca apa?" Kalau sudah ditanya begini aku langsung duduk disamping bapak untuk bercerita sambil menunjukkan tulisan mana yg kubaca. Ihhh bangganya bisa membaca.

Dari sini Kak Furi mulai bercerita dari buku yang kubaca. Selain ibuku yang bercerita kadang ibuku minta ganti giliran yang minta dibagi cerita. Ibuku selalu menyemangatiku untuk mau menulis surat buat sahabat pena. Dulu majalah masih ada rubrik Sahabat Pena. Takita tahu apa sahabat pena itu? Sahabat pena itu adalah menjalin persahabatan dengan teman-teman yang ada di seluruh Indonesia dengan bertukar surat dan cerita. Ya seperti menulis dan membalas surat buat Takita, bedanya dulu masih menggunakan jasa Pak Pos. Dari situ Kak Furi punya teman dari Aceh, dari Martapura, dan ada juga yang dari Bali. Menyenangkan sekali. Selain bisa bercerita dan banyak teman, aku juga tahu dimana letak teman-temanku di Indonesia. Gembira rasanya.

Ini contoh kalau berkirim surat lewat pos

Mendapat balasan surat

Takita, ibuku sering membuat cerita yang sampai sekarang masih terkenang di memori Kak Furi. Surat kemarin yang aku kirim ke Takita adalah cerita dari ibuku yang masih membekas di ingatan Kak Furi. Ibuku selalu senang jika ada lomba-lomba di majalah ataupun di papan pengumuman kota. Kelas 2 SD aku berhasil juara membaca puisi tingkat umur 7-9 tahun. Dan kelas 4 SD aku berhasil menjadi juara menulis PT KAI dengan hadiah naik kereta eksekutif Surabaya-Bandung. Senang sekali rasanya. Menginjak kelas yang lebih tinggi hobi membacaku selalu didukung orang tuaku. Aku selalu bertanya apa arti kata ini dan maksud kiasan itu jika membaca buku yang didalamnya masih tak kumengerti. Ibu atau Bapakku selalu menemaniku saat aku membaca buku cerita.
Ibuku selalu bilang, “Jangan pernah bosan membaca ya, kalau Adek suka membaca itu akan melatih Adek untuk mudah menulis cerita. Jangan takut bertanya kalau tidak tahu.”

Takita pasti tahu rasa senang karena bisa membaca dan menulis kan? Pesan ibuku akan selalu kakak ingat. Sampai kakak tumbuh dewasa, Ibu dan Bapak Kak Furi selalu mendukung kegiatan Kak Furi dan mengingatkan untuk tetap menulis, supaya apa? Supaya Kak Furi selalu ingat peristiwa menyenangkan dan peristiwa sedih  yang bisa dijadikan pelajaran di kemudian hari.

Kak Furi bersama Ayah dan Ibu


Orang tua Kak Furi bilang, anak adalah cermin bagi mereka. Jika orangtua mengajari, maka anaknya akan mengerti. Jika orang tua memberi teladan, maka anaknya akan mencontoh mereka. Semoga anak-anak Indonesia selalu mendapat pendidikan terbaik di rumah dari Ibu dan Bapaknya. Tos dong Takita! 

Sekian dulu surat dari Kak Furi. Kalau Takita mau tidur ceritakan balasan surat ini ke Ibu dan Ayah ya. Kak Furi selalu menunggu balasan surat Takita.

Salam,

Kak Furi 
Posting ini diikutkan Program Keluargaku Pendidikanku oleh Takita dan BlogFam  disini  
Lomba

No comments:

Post a Comment

terima kasih yaa :)