Monday, October 22, 2012

Masih Tiga Bulan, Belum Setahun (Pasca Penugasan)


Aku masih random atau acak dengan istilah “setahun mengajar seumur hidup menginspirasi” karena aku belum merasakan bagaimana menjadi bagian dari ‘seumur hidup’ itu sendiri. Masih terhitung 3 bulan pasca penugasan dan aku masih merindukan celoteh murid-muridku. Hanya bisa membicarakan mereka,mengulang-ngulang kepolosannya  dan segala tingkah laku mereka yang membuat kuadrat rindu ini bertambah lagi. Aku tidak tahu juga apakah mereka merindukan aku juga, namun ketika aku kembali membuka atau tak sengaja melihat rekaman, foto, cerita mereka, buku harian juga, aku hanya bisa berharap jika memang ada kesempatan meminta, aku akan meminta untuk dipertemukan kembali bertemu dengan jagoan-jagoan kecilku.

Sebulan yang lalu, ketika penggantiku mengirimkan amplop yang isinya segebok surat-surat kecil untuk menanyakan kabarku. Aku sangat trenyuh dan haru sekali dengan kepolosan mereka menulisnya. 



‘Encik, kapan pulang ke Sangir?’

‘Encik, kapan balik ulang? Torang so rindu’

Ah entah aku menjawab apa waktu itu. Aku juga mengutarakan perasaanku yang mungkin masih terbawa hawa penempatan. Jelas saja, aku baru pulang satu bulan dari penempatan rasa rindu masih kental bersarang di hatiku. Di bulan bulan itu pula masih banyak wali murid yang menelepon, murid SD sampai SMP yang masih sering cerita tentang kegiatannya di pulau. Dan jujur, aku masih rindu. Istilah ‘pulang’ itu juga yang benar-benar meyakinkanku bahwa aku sekarang punya tanah tinggal di ujung utara negeri ini.

Kemarin sore aku masih membicarakan mereka, kemarin sore aku masih tertawa mengingat kepolosan mereka. Juga masih kemarin sore pula, aku merindukan kebersamaanku bersama mereka. Hingga pagi ini ditengah Senin yang menagih semangatku untuk kembali pulih, hapeku dibunyikan oleh nomer yang tidak dikenal, namun ketika aku mendengar suara dan logatnya, aku hafal betul siapa dia. Delsye. Siswiku kelas 2 yang naik ke kelas 3. 



“Encik, kereyapa habare?”

Dari situ pula, aku  kembali bercerita menggunakan logatnya. Persis. Kejadian ini persis aku lakukan setahun lalu untuk memancing muridku bercerita setiap pagi tentang kegiatan semalam mereka untuk diceritakan kembali di muka kelas. Itu satu tahun yang lalu. Namun sekarang, aku hanya mendengarnya lewat suara saja. Delsye meneloponku untuk bercerita ada siswa baru di pulau dari gereja pantekosta. Dan dia senang ada teman baru di sekolahnya. Dia juga cerita bahwa saat telepon itu dia ada di tempat sinyal untuk telpon aku dan menceritakan tentang kegiatan sekolahnya hari ini yaitu menggambar hewan di kelas. Ia bercerita bahwa tidak ada guru yang mengajar di kelasnya, jadi mereka sendiri belajar dibantu Encik Naim (penggantiku). Dia juga bercerita tentang hebohnya kampung karena ada kakak kelasnya yang akan berangkat ke Jakarta. Persis, itu kebiasannya setahun yang lalu.

“Encik, kita so batulis 7 surat pa encik. Nanti encik ulang balas ne”

Dia bercerita bahwa dia menulis surat kepadaku. Dia juga bilang kalau matematikanya di kelas sudah bagus. Dia menceritakan kabar teman-temannya yang dulu aku ajar. Lengkap. Dan aku hanya menimpali, mendengar, menimpali, tertawa, menasehati.

“Encik, torang semua nyanda bauni (menonton TV) lagi, torang masih suka gosok gigi dan bersih telinga”
Ah, memori itu lagi. Aku rindu. Aku menimpali seadanya lagi dengan logat yang kusamakan dan bahasa yang aku ingat-ingat artinya. Namun, setelahnya aku tidak berani melanjutkan, hanya diam. Sampai akhirnya dia bilang,

“Encik, setiap malam kita selalu berdoa, supaya encik ada balik ke sangir, kembali bermain dan berenang dan belajar di kelas bocor. Torang so rindu sekali”

Di pelupuk mataku penuh air mata. Dengan secara sepihak, aku tutup telpon bukan karena aku tidak tega, tapi aku benar-benar rindu. 

“Amin. Terima kasih ne Delsye, belajar bae bae ne. Nanti encik ada telpon ulang. Selamat siang.”

Aku diam sambil menyeka. Ya Allah rindunya. Semoga kelak dia bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Maka dari itu, ketika ‘seumur hidup menginspirasi’ kembali terbayang-bayang di layar laptopku, aku masih merasakan 3 bulan ini mereka masih menginspirasiku. Dan aku memang masih butuh membuktikan setahun kemudian, dua tahun setelahnya atau sampai kapanpun itu apakah kenangan setahun mengajar ini bisa kabur begitu saja dari ingatanku. Sepertinya….. tidak akan.

Salam Senin Semangat ya teman.

Sunday, October 14, 2012

Alwyas Be Thankful

I dont know why, all the stories happened lately was beyond of my inadvertent way :)

Aku adalah penganut dan pengagum teman-temanku. Dan faktanya, banyak kejadian yang membuatku sangat terkagum dengan mereka sekali lagi.

Aku banyak belajar dari mereka, dengan segala apa yang mereka punya dengan apa yang mereka capai dengan segala sifat juga respon mereka terhadapku.

Sebelum aku akhirnya mematikan lampu kamarku semalam, aku terhenyak bahwasannya, Allah sudah sangat adil untuk mengatur hidup kita dengan segala pembelajaran cobaan yang pasti akan di sesuaikan dengan kemampuan kita. Aku banyak belajar dari teman temanku dan aku banyak bersyukur ketika aku bisa dipertemukan mereka.

Seminggu ini benar-benar luar biasa. Saya menikmatinya sampai saya tidak merasakannya. Dan jikalau aku bisa meminta kepada Allah, biarlah beat spirit , beat of my activity, my enthusiasm still in this week rate.

Well, thanks to my friends.
Thank you

Sunday - 10.10 am - 10/14/12

Love, Furi

Wednesday, October 10, 2012

Memilih (hidup) di Jakarta (lagi)

Kalau lah banyak kota di tanah air ini yang menyimpan beragam keeksotisannya dan dengan segala kekayaan potensinya, namun mengapa aku akhirnya memutuskan untuk memilih Jakarta lagi?

Malam itu aku memutuskan untuk naik busway dari arah blok menuju tempat kos di daerah sudirman. Entah begitu lelahnya saya malam itu dibalik segala rutinitas yang dijalani sepanjang hari membuat wajah saja sangat datar, jengah, lelah, haus dan lapar yang kurasakan. Dalam koridor busway, aku merasakan sesuatu yang lain ketika banyak pemandangan yang selama ini keberadaannya banyak kuenyahkan. Yaitu gigih.

Jakarta itu keras. Aku merasa kerasnya Jakarta bukan hanya sekedar kerasnya mengejar waktumu melawan macetnya jalan. Jakarta keras ketika kamu merasakan bagaimana harus bertahan di tengah padatnya rutinitas di balik niat yang sudah di ucapkan ketika memilih Jakarta. Seperti malam itu. Aku yakin betul, waktu menunjukkan pukul 10 malam, namun penjaja yang kuingat betul wajahnya dari pagi tadi sampai sekarang masih begitu cerianya menjajakan barang dagangannya di tengah lalu lalang orang yang melewati sepanjang jalananan busway. Iya Jakarta memang keras, maka kamu juga harus lebih keras menghadapinya. Saya menghampiri bapaknya untuk menanyakan berapa harga dagangannya, walaupun terpampang jelas harganya 15.000
"Berapa harganya Bang?"
"15 ribu neng, pas!"
"Udah laku berapa Bang dari tadi pagi?" sebenernya pertanyaan inilah yang ingin aku ajukan, bukan untuk membeli.
"Banyak neng, cuma 5"

*deep breath*

Otakku langsung saja mengkalkulasi berapa rupiah yang dia dapatkan hari ini, 5x15000. Yap, benar 75.000
Sedangkan aku, banyak merasakan membuang uang yang tak berguna hari itu. Akhirnya, ya aku menyisihkan sebagian rupiahku untuk imbal balik atas jawaban dari penjual screen guard handphone.

Kulanjutkan saja perjalananku menuju kos.

Jakarta ada ada saja. Selalu ada saja di Jakarta. Entah bagaimana menyebutnya. Sebetulnya aku masih 'jetlag' budaya ketika aku berpindah tempat dari kota yang begitu sunyi menuju kota yang begitu ramai. Namun, satu hal yang dapat aku petik kemana pun aku pergi untuk merantau atau berjalan-jalan, disana aku selalu menemukan KERJA KERAS.

Ternyata bukan Jakarta saja yang keras, tapi hidup itu diciptakan untuk menjadi keras. Dan dalam perjalanan malam, ketika aku memijakkkan langkah demi langkah sambil melihat masih banyak orang yang masih mencari nafkah, kembali aku tata nafasku lagi, memilih hidup di Jakarta adalah pilihan yang sudah aku ambil dan jangan menyalahkan orang di sekitarmu atau rutinitasmu untuk tak kusebarkan senyum dan semangat untuk orang di sekitarku. Menyadari aku mungkin lebih beruntung dibandingkan mereka dan selalu bersyukur atas apa yang sudah ku dapat.

*deep+smile breathe*
Hello Jakarta, nice to know you! Thanks for lesson to teach me how to survive hardly!

Jakarta, 10.10.12 - 8.49 Dharmawangsa Hotel, waiting for someone really important! pack it well Furi :)

I Love My Dad


Mungkin ini bukan kali pertama saya menuliskan sebuah cerita tentang Bapakku. 
Sosok lelaki yang apa adanya namun luar biasa. Bukannya saya membanggakan beliau. Simple, karena saya cinta Bapak. Setahunku disana, membuat waktuku bersua dan bertatap langsung dengan beliau sangat berkurang. Bisa dibilang, saya lebih sering bersama teman-teman dibanding Bapak. Namun, Bapak ini tidak pernah absen menanyakan kabarku, hanya dengan alasan simple, atau dengan sms yang simple saja. 

"Just let me know, that u are fine"
itu salah satu sms yang sering aku dapat, ketika bapak harus lebih dari sekali bertanya tentang keadaanku.
Tapi ketika aku benar-benar di posisi yang benar sulit atau terhimpit atau akal rasionalku tidak berfungsi lagi, rasanya bapakku ini bisa menemukan sejuta solusi. That one of the reasons why I really admire him so much.
Kemarin setelah setahun saya tugas, akhirnya aku harus pulang ke kampung halaman. Dengan barang bawaan yang tidak sedikit alias banyak sekali, saya berharap bapak datang menjemputku dengan kendaraan pribadi, sehingga tidak rumit. Masih ingat sekali, waktu itu di stasiun mana hari masih gelap, dan dengan pandangan remang ku lihat layar handphoneku dan melihat ada sebuah sms 

From : My Luvly Dad
“Adek, bapak jemput kamu naik kereta. Bapak berangkat dari Probolinggo naik mutiara malam jam 3 pagi. Sampai Surabaya jam 5. Kira-kira kereta adik sampai jam berapa?”

Dengan tidak menelaah dulu dan menjawab pertanyaan Bapak, saya langsung berpikir betapa rempongnya saya membawa barang banyak ini, namun bapak tidak menjemput dengan mobil? Langsung kujawab sms beliau, 
“Bapak kenapa tidak bawa mobil? Barangku banyak sekali!”
Seperti biasanya bapak langsung menjawab dan membuatku langsung bungkam.

"Karena Bapak hanya butuh waktu 2 jam perjalanan Surabaya- Probolinggo untuk mendengarkan ceritamu dengan luas"

Saya diam. Saya menghela nafas. Subhanallah. Akhirnya saya menjawab pertanyaan beliau
Layaknya malam ini juga. Ketika sudah kubasuh kakiku untuk segera kupejamkan mata, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Kulihat bapak dari ujung pelupuk mataku, sambil kutanya

"Ngapain Pak?"
Beliau hanya menjawab, "Ndak, kangen matikan lampu kamarmu. Lama sepertinya tidak melihatmu tidur lelap malam. Selamat malam ya" sambil mematikan lampu kamarku.
Aku terdiam, tersenyum simpul. Kunyalakan lagi lampu. Ku tulis cerita ini. 

Bapak, Adek sayang Bapak.

Purple room- 21 Juli 2012. Semoga bapak sehat dan panjang umur :)