Thursday, May 17, 2012

Dia Ber-Cilia


Aku punya sahabat yang baik. Sahabatku ini tak pernah mengeluh. Dia kokoh meski bentuknya sudah tak karuan, seakan tak terlihat lungsuran. Dia tak pernah berontak ketika panas ataupun hujan. Dia selalu melindungiku ketika terantuk batu, menyelematkanku dari licinnya jalan, dan yang jelas mengamanku dari teguran guru. Aku sering mewarnainya dengan sisa kapur di kelas, jika wajahnya menyemu, seminggu sekali memandikannya, lalu menyematkan tali agar kembali sumringah. Aku pun gagah bersamanya. Selalu.


Sudah 4 tahun kita bersama. Banyak cerita antara kita, senang ataupun duka. Namun, seiring dengan kondisinya yang mulai menurun, dia sekarang jarang kuajak menemani berjalan. Dia sering ku gantungkan di tas. Aku mengajaknya ketika dibutuhkan saja, selebihnya ku gantung lagi. Aku menyayangi dan selalu menjaganya. Dia tak sekokoh dulu. Jelujuran ibuku sudah mengitari sekujur tubuhnya. Tubuhnya sudah berserabut. Telapaknya sudah tak segagah dulu, sudah sedikit aus, terkikis, akibat sering kuajak berlari ketika aku terlambat pergi, sering kuajak mengejar ketika lonceng terdengar. Warnanya juga tak cemerlang lagi. Walaupun aku beri kapur dan kusikat berkali-kali, bukan gagah yang kudapati, malah semakin menyakitinya.Orang juga banyak mencibirnya dan membicarakannya bentuknya. Bukan karena dia tidak seperti yang dulu. Bukan karena dia tak indah lagi. Namun apa boleh buat, ukuran kita tak sama lagi. Aku sering menahan sakit ketika berjalan bersamanya. Sampai ibuku bilang, ‘Relakan dia, Nak. Saatnya adikmu yang menjaganya.’

-masih teringat, sepatu kanvas putih yang selalu kupakai tiap hari Senin-Kamis di SMA-

No comments:

Post a Comment

terima kasih yaa :)