Sunday, December 23, 2012

Review: Film Habibie-Ainun


Kemarin gara-gara aku dikopori oleh seseorang untuk menonton Habibie – Ainun setelah sebelumnya kami gagal nonton bareng, jalanlah saya dengan kedua teman saya Arum dan Angga di Pasifik Place. Sebelumnya aku memang sering menyaksikan trailer film ini saat menonton film lain sebelum sebelumnya. Awalnya aku agak kecewa ketika yang memerankan Ainun adalah Bunga Citra Lestari dan yang memerankan Habibie adalah Reza Rahardian. Aku akan menyangka kualitasnya sebanding dengan film 5cm yang completely sinetron. Namun bagaimana pun karena aku adalah pecinta novel yang di filmkan maka aku wajib melihat filmnya dan membandingkan dengan buku yang aku baca.

Habibie-Ainun (sumber : google)
 Jam 7.30 ketika film pertama diputar, banyak penonton yang tertawa melihat acting Reza sebagai Habibie yang menurutku memang brilliant. Bagiku, suasana yang membuncah ketika setting Jerman menjadi pembuka bagaimana gigihnya Habibie dan brilliannya beliau untuk membuat Profesornya percaya akan teorinya. Saya merasakan hal yang sama. Sebagai seorang engineer, mendapat pengakuan dari orang dengan pembuktian teori dan praktik dengan minimalisasi error itu tidak mudah. Memang benar, butuh waktu untuk tidak tidur atau rela terserang penyakit. Sampai beliau rela bertaruh untuk kesehatannya demi janji yang ia lontarkan untuk negerinya. How I admire Habibie so much. Smart, brilliant but unpretentious.  Dalam film itu sepertinya terlontar untuk mempunyai mimpi saja tak mudah, butuh keberanian dan kerja keras  untuk merihnya. Ah, jadi ingin segera sekolah dan belajar lagi.

‘Lah biar toh kalau banyak yang nyenengin, kalo frekuensinya ngga sama mana bisa. Ya ngga?’ kata beliau ketika diledek temannya apakah dia berhasil menggait Ainun yang serba istimewa itu. Aku hanya tertawa dalam hati melihat scene itu. Memori saya berputar pada buku Habibie-Ainun yang pernah aku baca. Di buku itu ditulis detail bagaimana beliau bertemu dengan Ainun, bagaimana beliau bercakap cakap dengan keluarga Bestari. Namun overall, fase pendekatan sampai menikah cukup membuatku puas di film itu. Menciptakan manusia untuk berpasangan namun dengan bibit bobot yang sesuai. Meminta Ainun untuk menemaninya ke Jerman, building their own family tanpa pengaruh keluarga besar. It’s the second time I heard the advice statement like that.Keja keras yang mengiringi perjalanan Habibie – Ainun berjuang bersama-sama menikmati proses membangun rumah tangga mereka.  Ini perkataan Habibie yang paling kusuka,
Saya tidak bisa menjanjikan banyak hal, entah Ainun bisa terus menjadi dokter atau tidak, entah kita bisa hidup mudah atau tidak disana tapi yang jelas saya akan menjadi suami yang terbaik untuk Ainun.

Memang seharusnya menikah seperti itu ya? Ah, jadi pingin menikah (yang ini kode banget-abaikan! :0)

Melihat film ini sepertinya merefleksikan apa yang sedang kurencanakan akhir-akhir ini. Ketakutan tetiba muncul ketika Habibie merasakan susah senangnya menjalin keluarga di tengah perjalanannya untuk mendapatkan gelar Doctor. Yes, from the book I red, it is really difficult! Tapi Habibie tetap melaksanakan apa yang sudah dia janjikan kepada istrinya keluarga dan negaranya untuk  tetap menjalani apapun yang sudah menjadi tanggung  jawabnya. Ah, menjalankan sesuatu yang dirasa berat memang dibutuhkan pendamping. Habibie mengajarkanku itu malam tadi. Dia yang really brilliant ternyata butuh Ainun untuk merawatnya dan menjaganya mengingatkan juga  menjadi teman share setiap malam akan pekerjaannya. Dengan manisnya dia selalu mengecup kening istrinya ketika istrinya khawatir. Menyatakan kata-kata yang membuat hati istrinya tenang. ‘Masak apa?’ tanya Habibie. ‘Masak soup,’ jawab Ainun. ‘Apapun masakanmu aku tetap makan kok, bahkan stetoskop pun kamu masak, ya tetap aku makan.’Ah, Habibie, how I really admire you so much! (bahkan menulis tulisan barusan aku masih nangis lagi)

Ainun membuatku iri. Memang apalah artinya pria jika tanpa ada perempuan di sampingnya. Dia bisa selalu ada ketika Habibie membutuhkannya, menangkan dengan penuh sabar, mendoakan ketika Habibie kesulitan, mencari jalan keluar ketika keuangan keluarga terhimpit. Mengasuh anak-anaknya dan membimbinnya dengan telaten. Bahkan dia tak ingin suaminya khawatir dengan penyakit yang dideritanya. Selalu mengingatkan suaminya untuk tersenyum, menyediakan obat untuk suaminya. Tak pernah mengeluh dengan kondisi yang pas-pasan  dan apa adanya. Aih, Ainun, I admire you too!

Buku dan film ini sepertinya menjadi saksi cahaya yang pernah Habibie sampaikan kepada istrinya saat beliau melontarkan teori kereta apinya. Dari sebuah terowongan yang gelap Habibie mampu membawa Ainun dan keluarganya untuk akhirnya menemukan jalan menuju sebuah cahaya. Dalam menjalankan tugas dan amanahnya, beberapa kali hambatan, cercaan, godaan bahkan fitnah menghampiri dirinya bahkan mengancam keluarganya. Ah, negeriku! Kenapa harus seperti ini! Dalam perjalanan scene ini, aku mulai menangis tak terbendung ketika IPTN harus ditutup dan pesawat buatan anak bangsa itu harus dibiarkan begitu saja, dan dengan tabah Ainun mengingatkan Habibie, ‘Ada banyak cara untuk mencintai Indonesia’ dan Habibie menjawab, ‘Aku mengorbankan banyak hal untuk ini (sambil menunjuk pesawat) aku mengorbankanmu dan anak-anak’ 

Meleleh air mata saya. Dan sampai scene akhir, bagaimana Ainun sakit sampai harus dioperasi 9x dan sampai meninggalnya yang namanya mata terus mengeluarkan air mata dan hidungku mampet sekali. 

Sweetest scene (sumber : google)
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya  mampu membuatku nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pasa kesetiaan yang telah kau ukit, pada kenangan pahit manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,
Kau dari-Nya dan kembali pada-NYa,
Kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku,
Penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku

B.J. Habibie

Give the rating? I give that 10! Salute for BCL dan Reza, that was awesome acting! Dan sekali lagi, mengingatkan Pak Habibie untuk selalu minum obat ya Pak! Sehat terus!!!

Penggemarmu, 

Furi

4 comments:

  1. Kau dari-Nya dan kembali pada-NYa,
    Kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
    Selamat jalan sayang, cahaya mataku,
    Penyejuk jiwaku,
    Selamat jalan, calon bidadari surgaku
    (Best quote)

    ReplyDelete
  2. Mba Furi, Mas Luthfi..
    Permisiiii :D

    Udh banyak teori, kapan prakteknya mba, mas?
    Saya doakan waktu yg tepat, jodoh yg tepat segera berlabuh yah.. :D

    ReplyDelete
  3. Amiinn umm... Semoga pelabuhannya deket-deket sini aja :D

    ReplyDelete
  4. baru bisa komeeeen..:D

    Bagus review mu Fur, detailnya dapet..hahahaa..
    Bakal lebih "dapet" lagi penghayatan film nya kalo kamu ngalamin juga gimana jadi engineer hasil pendidikan Jerman, otentik banget!! ;)

    Serius ni, aku promote ya ke temen2ku yg sedang Master atau akan lanjut Doktor di Jerman, deal? HP mana HP?? ;)

    ReplyDelete

terima kasih yaa :)